
ASUHAN KEPERAWATAN
GAGAL
GINJAL AKUT
TINGKAT
: II A
KELOMPOK IX
v Reinaldi
v Jeli audio
monjae
v Rian kurnia
hotty
v Olvi toy
v hesti
Akademi keperawatan bala
keselamatan palu

Tahun :
2015
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR -------------------------------------------------------------------------------- i
Daftar
isi -------------------------------------------------------------------------------------------- ii
BAB
I PENDAHULUAN ------------------------------------------------------------------------------ 1
A. Latar
belakang ----------------------------------------------------------------------------- 2
B. Tujuan
---------------------------------------------------------------------------------------
BAB II PEMBAHASAN -------------------------------------------------------------------------------
A. Pengertian
--------------------------------------------------------------------------------- 4
B. Klasifikasi
----------------------------------------------------------------------------------- 5
C. Etiologi
-------------------------------------------------------------------------------------- 6
D. Manifestasi
klinik ------------------------------------------------------------------------- 7
E. Patofisiologi
-------------------------------------------------------------------------------- 9
F. Pemeriksaan
penunjang ---------------------------------------------------------------- 11
G. Penatalaksaan
---------------------------------------------------------------------------- 13
H. Komplikasi
--------------------------------------------------------------------------------- 14
BAB
III ASUHAN KEPERAWATAN ---------------------------------------------------------------- 15
A. Pengkajian
-------------------------------------------------------------------------------- 15
B. Pemeriksaan
visik ------------------------------------------------------------------------ 16
C. Pemeriksaan
diagnostic ----------------------------------------------------------------- 17
D. Diagnose
keperawatan ------------------------------------------------------------------ 18
E. Intervensi
keperawatan ---------------------------------------------------------------- 18
BAB IV ------------------------------------------------------------------------------------------------
A. Kesimpulan
------------------------------------------------------------------------------- 25
B. Saran
--------------------------------------------------------------------------------------- 25
DAFTAR PUSTAKA --------------------------------------------------------------------------------- 26
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Gagal ginjal adalah gangguan fungsi ginjal
yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit yang dapat
menyebabkan uremia yaitu retensi cairan dan natrium dan sampah nitrogen lain
dalam darah (Smeltzer, 2002).
Gagal ginjal
akut (GGA) adalah suatu sindrom klinis yang di tandai dengan penurunan mendadak
(dalam beberapa jam sampai beberapa hari) laju filtrasi glomerulus (GFR), di
sertai akumulasi nitrogen sisa metabolisme (ureum dan kreatinin). Laju filtrasi
gromelurus yang menurun dengan cepat menyebabkan kadar kreatinin serum
meningkat sebanyak 0,5 mg/dl/hari dan kadar nitrogen urea darah sebanyak 10
mg/dl/hari dalam beberapa hari. ARF biasanya disertai oleh oligurea (keluaran
urine < 400 ml/hari). Gagal ginjal akut adalah sindrom yang terdiri dari
penurunan kemampuan filtrasi ginjal (jam sampai hari), retensi produk buangan
dari nitrogen, gangguan elektrolit dan asam basa. Gagal ginjal akut sering
asimtomatik dan sering didapat dengan tanda peningkatan konsentrasi ureum dan
kreatinin.
Gagal ginjal
akut berat yang memerlukan dialisis, mempunyai mortalitas tinggi melebihi 50%.
Nilai ini akan meningkat apabila disertai kegagalan multi organ. Walaupun
terdapat perbaikan yang nyata pada terapi penunjang, angka mortalitas belum
berkurang karena usia pasien dan pasien dengan penyakit kronik lainnya.
Di negara
maju, angka penderita gangguan ginjal tergolong cukup tinggi. Di Amerika
Serikat misalnya, angka kejadian gagal ginjal meningkat dalam 10 tahun. Pada
1990, terjadi 166 ribu kasus GGT (gagal ginjal tahap akhir) dan pada 2000
menjadi 372 ribu kasus. Angka tersebut diperkirakan terus naik. Pada 2010,
jumlahnya diestimasi lebih dari 650 ribu (Djoko, 2008).
Hal yang
sama terjadi di Jepang. Di Negeri Sakura itu, pada akhir 1996 ada 167 ribu
penderita yang menerima terapi pengganti ginjal. Menurut data 2000, terjadi
peningkatan menjadi lebih dari 200 ribu penderita. Berkat fasilitas yang
tersedia dan berkat kepedulian pemerintah yang sangat tinggi, usia harapan
hidup pasien dengan GGA di Jepang bisa bertahan hingga bertahun-tahun. Bahkan,
dalam beberapa kasus, pasien bisa bertahan hingga umur lebih dari 80
tahun. Angka kematian akibat GGA pun bisa ditekan menjadi 10 per 1.000
penderita. Hal tersebut sangat tidak mengejutkan karena para penderita di
Jepang mendapatkan pelayanan cuci darah yang baik serta memadai (Djoko, 2008).
Di indonesia
GGA pada 1997 berada di posisi kedelapan. Data terbaru dari US NCHS 2007
menunjukkan, penyakit ginjal masih menduduki peringkat 10 besar sebagai
penyebab kematian terbanyak. Faktor penyulit lainnya di Indonesia bagi pasien
ginjal, terutama GGA, adalah terbatasnya dokter spesialis ginjal. Sampai saat
ini, jumlah ahli ginjal di Indonesia tak lebih dari 80 orang. Itu pun sebagian
besar hanya terdapat di kota-kota besar yang memiliki fakultas kedokteran.
Maka, tidaklah mengherankan jika dalam pengobatan kerap faktor penyulit GGA
terabaikan.
Melihat
situasi yang banyak terbatas itu, tiada lain yang harus kita lakukan, kecuali
menjaga kesehatan ginjal. Jadi, alangkah lebih baiknya kita jangan sampai sakit
ginjal. Mari memulai pola hidup sehat. Di antaranya, berlatih fisik secara
rutin, berhenti merokok, periksa kadar kolesterol, jagalah berat badan, periksa
fisik tiap tahun, makan dengan komposisi berimbang, turunkan tekanan darah,
serta kurangi makan garam. Pertahankan kadar gula darah yang normal bila
menderita diabetes, hindari memakai obat antinyeri nonsteroid, makan protein dalam
jumlah sedang, mengurangi minum jamu-jamuan, dan menghindari minuman
beralkohol. Minum air putih yang cukup (dalam sehari 2-2,5
liter). (Djoko, 2008).
B. TUJUAN
1. Tujaun umum
Diharapkan setelah membaca makalh in mahasiswa mengetahui defenisi dan
asuhan keperawatan dari Gagal ginjal akut
2. Tujaun
khusus
Di harapkan setelah membaca isi dari makalah ini mahasiswa mengetahui :
a. Mengerti
pengertian dari gagal ginjal akut.
b. Mengetahui
penyebab dari gagal ginjal akut
c. Mengetahui
klasifikasi dari gagal ginjal akut
d. Mengetahui
manifestasi klinis dari gagal ginjal akut
e. Mengetahui
patofisiologi dari gagal ginjal
f. Mengetahui
pemeriksaan penunjang dari gagal ginjal akut
g. Bagaimana
penetalaksanaan dari gagal ginjal akut
h. Mengetahui
asuhan keperawatan dari gagal ginjal akut
BAB
II
A.
PENGERTIAN
Gagal ginjal akut adalah penurunan tiba-tiba faal
ginjal pada individu dengan ginjal sehat sebelumnya, dengan atau tanpa oliguria
dan berakibat azotemia progresif disertai kenaikan ureum dan kreatinin darah.

Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu sindrom klinis
yang di tandai dengan penurunan mendadak (dalam beberapa jam sampai beberapa
hari) laju filtrasi glomerulus (LFG), di sertai akumulasi nitrogen sisa
metabolisme (ureum dan kreatinin).
Gagal Ginjal Akut adalah kemunduran yang cepat dari
kemampuan ginjal dalam membersihkan darah dari bahan-bahan racun, yang
menyebabkan penimbunan limbah metabolik di dalam darah (misalnya urea).
Gagal ginjal
terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolic tubuh atau
melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya dieliminasi di urin
menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan
gangguan fungsi endokrin dan metabolic, cairan, elektrolit, serta asam basa.
Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang umum
dari berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal (Saifudin, 2010).
Gagal ginjal
akut adalah sindrom klinis dimana ginjal tidak lagi mengsekresi produk-produk
limbah metabolisme. Biasanya karena hiperfusi ginjal sindrom ini biasa
berakibat azotemia (uremia), yaitu akumulasi produk limbah nitrogen dalam darah
dan aliguria dimana haluaran urine kurang dari 400 ml / 24 jam (Tambayong,
2000).
B.
KLASIFIKASI
1.
Gagal ginjal akut prerenal
Gagal ginjal akut Prerenal adalah keadaan yang paling
ringan yang dengan cepat dapat reversibel, bila ferfusi ginjal segera
diperbaiki. Gagal ginjal akut Prerenal merupakan kelainan fungsional, tanpa
adanya kelainan histologik/morfologik pada nefron. Namun bila hipoperfusi
ginjal tidak segera diperbaiki, akan menimbulkan terjadinya nekrosis tubulat
akut (NTA).
2.
Gagal ginjal akut post renal
GGA posrenal adalah suatu keadaan dimana pembentukan
urin cukup, namun alirannya dalam saluran kemih terhambat. Penyebab tersering
adalah obstruksi, meskipun dapat juga karena ekstravasasi
3.
Gagal ginjal akut renal
GGA renal sebagai akibat penyakit ginjal primer
seperti
a.
Glomerulonefritis
b.
.Nefrosklerosis
c.
Penyakit kolagen
d.
Angitis hipersensitif
e.
Nefritis interstitialis akut karena obat, kimia, atau
kuman.
4.
Nefrosis Tubuler Akut ( NTA )
Nefropati vasomotorik akut terjadi karena iskemia
ginjal sebagai kelanjutan GGA. Prerenal atau pengaruh bahan nefrotoksik.Bila
iskemia ginjal sangat berat dan berlangsung lama dapat mengakibatkan terjadinya
nekrosis kortikol akut( NKA) dimana lesi pada umumnya difus pada seluruh
korteks yang besifat reversibel.Bila lesinya tidak difus (patchy) ada
kemungkinan reversibel.
C.
ETIOLOGI
Sampai saat ini para praktisi klinik masih membagi etiologi gagal ginjal
akut dengan tiga kategori meliputi :
1. Prarenal
Kondisi prarenal adalah masalah aliran darah akibat
hipoperpusi ginjal dan turunnya laju filtrasi glomeruls. Gagal ginjal akut
Prerenal merupakan kelainan fungsional, tanpa adanya kelainan histologik atau
morfologik pada nefron. Namun bila hipoperfusi ginjal tidak segera diperbaiki,
akan menimbulkan terjadinya nekrosis tubulat akut (NTA). Kondisi ini meliputi
hal-hal sebagai berikut :
a. Hipovolemik (perdarahan postpartum,
luka bakar, kehilangan cairan dari gastrointestinal pankreatitis, pemakaian
diuretik yang berlebih)
b. Fasodilatasi (sepsis atau
anafilaksis)
c. Penurunan curah jantung (disaritmia,
infark miokard, gagal jantung, syok kardioenik dn emboli paru)
d. Obstruksi pembuluh darah ginjal
bilateral (emboli, trombosis)
2. Renal
Pada tipe ini Gagal Ginjal Akut timbul akibat kerusakan jaringan ginjal.
Kerusakan dapat terjadi pada glomeruli atau tubuli sehingga faal ginjal
langsung terganggu. Dapat pula terjadi karena hipoperfusi prarenal yang tak
teratasi sehingga mengakibatkan iskemia, serta nekrosis jaringan ginjal
Prosesnya dapat berlangsung cepat dan mendadak, atau dapat juga berlangsung
perlahan–lahan dan akhirnya mencapai stadium uremia. Kelainan di ginjal ini
dapat merupakan kelanjutan dari hipoperfusi prarenal dan iskemia kemudian
menyebabkan nekrosis jaringan ginjal. Beberapa penyebab kelainan ini adalah :
a. Koagulasi
intravaskuler, seperti pada sindrom hemolitik uremik, renjatan sepsis dan
renjatan hemoragik.
b. Glomerulopati
(akut) seperti glomerulonefritis akut pasca sreptococcus, lupus nefritis,
penolakan akut atau krisis donor ginjal.
c. Penyakit
neoplastik akut seperti leukemia, limfoma, dan tumor lain yang langsung
menginfiltrasi ginjal dan menimbulkan kerusakan.
d. Nekrosis
ginjal akut misal nekrosis tubulus akut akibat renjatan dan iskemia lama,
nefrotoksin (kloroform, sublimat, insektisida organik), hemoglobinuria dan
mioglobinuria
e. Pielonefritis
akut (jarang menyebabkan gagal ginjal akut) tapi umumnya pielonefritis kronik
berulang baik sebagai penyakit primer maupun sebagai komplikasi kelainan
struktural menyebabkan kehilangan faal ginjal secara progresif.
f. Glomerulonefritis kronik dengan
kehilangan fungsi progresif.
3. Pascarenal /
Postrenal
GGA pascarenal adalah suatu keadaan dimana pembentukan urin cukup, namun
alirannya dalam saluran kemih terhambat. Etiologi pascarenal terutama obstruksi
aliran urine pada bagian distal ginjal, ciri unik ginjal pasca renal adalah
terjadinya anuria, yang tidak terjadi pada gagal renal atau pre-renal. Kondisi
yang umum adalah sebagai berikut :
a.
Obstruksi
muara vesika urinaria: hipertropi prostat< karsinoma
b. Obstruksi
ureter bilateral oleh obstruksi batu saluran kemih, bekuan darah atau sumbatan
dari tumor (Tambayong, 2000).
D.
MANIFSTASI KLINIK
Menurut Smeltzer (2002) terdapat
empat tahapan klinik dan gagal ginjal akut, yaitu periode awal, periode
oligunia, periode diuresis, dan periode perbaikan. Gagal ginjal akut azotemia
dapat saja terjadi saat keluaran urine lebih dari 400 ml/24 jam.
1. .
Periode awal
dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria.
2. Stadium
oliguria
Periode oliguria (volume urine kurang dari 400 ml/24 jam) disertai dengan
peningkatan konsentrasi serum dan substansi yang biasanya diekskresikan oleh
ginjal (urea, kreatinin, asam urat, serta kation intraseluler-kalium dan
magnesium). Jumlah urine minimal yang diperlukan untuk membersihkan produk
sampah normal tubuh adalah 400 ml. Oliguria timbul dalam waktu 24-48 jam
sesudah trauma dan disertai azotemia. Pada bayi, anak-anak berlangsung selama
3–5 hari. Terdapat gejala-gejala uremia (pusing, muntah, apatis, rasa haus,
pernapasan kusmaul, anemia, kejang), hiperkalemi, hiperfosfatemi, hipokalsemia,
hiponatremia, dan asidosis metabolik.
3. .
Stadium
diuresis
Periode diuresis, pasien menunjukkan peningkatan jumlah urine secara
bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi glomerulus. Meskipun urine output
mencapai kadar normal atau meningkat, fungsi renal masih dianggap normal.
Pasien harus dipantau dengan ketat akan adanya dehidrasi selama tahap ini, jika
terjadi dehidrasi, tanda uremik biasanya meningkat.
a. Stadium GGA
dimulai bila keluaran urine lebih dari 400 ml/hari
b. Berlangsung
2-3 minggu
c. Pengeluaran
urine harian jarang melebihi 4 liter, asalkan pasien tidak mengalami hidrasi
yang berlebih
d. Tingginya
kadar urea darah
e. Kemungkinan
menderita kekurangan kalium, natrium dan air
f. Selama
stadium dini dieresis, kadar BUN mungkin meningkat terus
4. Stadium
penyembuhan
Stadium penyembuhan GGA berlangsung sampai satu tahun, dan selama itu
anemia dan kemampuan pemekatan ginjal sedikit demi sedikit membaik. Nilai
laboratorium akan kembali normal.
Gejala klinis yang terjadi pada penderita GGA, yaitu:
a. Penderita
tampak sangat menderita dan letargi disertai mual, muntah, diare, pucat
(anemia), dan hipertensi
b. Nokturia
(buang air kecil di malam hari).
c. Pembengkakan
tungkai, kaki atau pergelangan kaki. Pembengkakan yang menyeluruh (karena
terjadi penimbunan cairan).
d. Berkurangnya
rasa, terutama di tangan atau kaki.
e.
Tremor
tangan
f. Kulit dari
membran mukosa kering akibat dehidrasi.
g. Nafas
mungkin berbau urin (foto uremik), dan kadang-kadang dapat dijumpai adanya
pneumonia uremik.
h. Manisfestasi
sistem saraf (lemah, sakit kepala, kedutan otot, dan kejang).
i.
Perubahan pengeluaran produksi urine (sedikit, dapat
mengandung darah, berat jenis sedikit rendah, yaitu 1.010 gr/ml)
j.
Peningkatan konsentrasi serum urea (tetap), kadar
kreatinin, dan laju endap darah (LED) tergantung katabolisme (pemecahan
protein), perfusi renal, serta asupan protein, serum kreatinin meningkat pada
kerusakan glomerulus.
k. Pada kasus
yang datang terlambat gejala komplikasi GGA ditemukan lebih menonjol
yaitu gejala kelebihan cairan berupa gagal jantung kongestif, edema paru,
perdarahan gastrointestinal berupa hematemesis, kejang-kejang dan
kesadaran menurun sampai koma.
E. PATOFISIOLOGI
Meskipun sudah ada kesepakatan mengenai patologi kerusakan ginjal ARF
(acute renal fallure) tipe NTA (necrosis tubular acute), tetapi masih ada
kontroversi mengenai patogenitas penekanan fungsi ginjal dan oliguria yang
biasanya menyertai. Sebagian besar konsep modern mengenai faktor-faktor
penyebab mungkin didasarkan pada penyelidikan menggunakan model hewan
percobaan, dengan menyebabkan gagal ginjal akut nefrotoksik melalui penyuntikan
merkuri klorida, uranil sitrat, atau kromat, sedangkan kerusakan iskemik
ditimbulkan renalis.
Menurut Price,
(2005) ada beberapa kondisi yang menjadi faktor predisposisi yang dapat
menyebabkan pengurangan aliran darah renal dan gangguan fungsi ginjal, yaitu
sebagai berikut :
1.
Obstruksi tubulus
2.
Kebocoran cairan tubulus
3.
Penurunan permeabilitas glomerulus
4.
Disfungsi vasomotor
5.
Umpan balik tubulo-glomerulus
Tidak
satupun dari mekanisme diatas yang dapat menjelaskan semua aspek ARF (acute
renal fallure) tipe NTA (necrosis tubular acute) yang bervariasi itu (schrier,
1986).
Teori
obstruksi tubulus menyatakan bahwa NTA (necrosis tubular acute) mengakibatkan
deskuamasi sel tubulus nekrotik dan bahan protein lainnya, dan kemudian
membentuk silinder-silinder dan menyumbat lumen tubulus. Pembengkakan seluler
akibat iskemia awal, juga ikut menyokong terjadinya obstruksi dan memperberat
iskemia. Tekanan intratubulus menigkat, sehingga tekanan filtrasi glomerulus
menurun. Obstruksi tubulus dapat merupakan faktor penting pada ARF (acute renal
fallure) yang disebabkan oleh logam berat, etilen glikol, atau iskemia
berkepanjangan.
Hipotesis
kebocoran tubulus mengatakan bahwa filtrasi glomerulus terus berlangsung normal
tetapi cairan tubulus bocor keluar dari lumen melalui sel-sel tubulus yang
rusak dan masuk ke dalam sirkulasi peritubular. Kerusakan membrane basalis
dapat terlihat pada NTA (necrosis tubular acute) yang berat, yang
merupakan dasar anatomic mekanisme ini.
Meskipun
sindrom NTA (necrosis tubular acute) menyatakan adanya abnormalitas
tubulus ginjal, bukti-bukti terakhir menyatakan bahwa dalam keadaan-keadaan
tertentu sel-sel endotel kapiler glomerulus dan /atau sel-sel membrane basalis
mengalami perubahan yang mengakibatkan menurunnya permeabilitas luas permukaan
filtrasi. Hal ini mengakibatkan penurunan ultrafiltasi glomerulus.
Aliran darah
ginjal total (RBF) dapat berkurang sampai 30% dari normal pada ARF oliguria.
Tingkat RBF ini cocok dengan GFR (glomerular filtration rate) yang cukup besar.
Pada kenyataannya, RBF pada gagal ginjal kronik sering sama rendahnya atau
lebih rendah dari pada bentuk akut, tetapi fungsi ginjal masih memadai atau
berkurang. Selain itu, bukti-bukti percobaan membuktikan bahwa RBF harus kurang
dari 5% sebelum terjadi kerusakan parenkim ginjal (merriill, 1971).
Dengan
demikian hipoperfusi ginjal saja tidak menyebabkan penurunan GFR dan lesi-lesi
tubulus yang terjadi pada ARF (acute renal fallure). Meskipun demikian,
terdapat bukti perubahan bermakna pada distribusi aliran darah intrarenal dari
korteks ke medulla selama hipotensi akut dan memanjang. Pada ginjal normal,
kira-kira 90% darah didistribusikan ke korteks (glomeruli) dan 10% menuju ke
medulla. Dengan demikian ginjal dapat memekatkan urin dan menjalankan
fungsinya. Sebaliknya pada ARF perbandingan antara distribusi korteks dan
medulla ginjal menjadi terbalik, sehingga terjadi iskemia relative pada korteks
ginjal. Kontriksi arteriol aferen merupakan dasar vascular dari penurunan laju
filtrasi glomerulus (GFR).
Iskemia
ginjal akan mengaktifasi sistem renin-angiotensin dan memperberat iskemia
korteks setelah hilangnya rangsangan awal. Kadar renin tertinggi ditemukan pada
korteks luar ginjal, tempat terjadinya iskemia paling berat selama
berlangsungnya ARF (acute renal fallure) pada hewan maupun manusia
(schrier, 1996).
Beberapa
penulis mengajukan teori mengenai prostaglandin dalam disfungsi vasomotor pada
ARF (acute renal fallure). Dalam keadaan normal, hipoksia ginjal merangsang
sintesis prostaglandin E dan prostaglandin A (PGE dan PGA) ginjal (vasodilator
yang kuat), sehingga aliran darah ginjal diredistribusi ke korteks yang
mengakibatkan diuresis. Agaknya, iskemia akut yang berat atau berkepanjangan
dapat menghambat sintesis prostaglandin ginjal tersebut. Penghambat
prostaglandin seperti aspirin diketahui dapat menurunkan RBF pada orang normal
dan dapat menyebabkan NTA (necrosis tubular acute) (Harter, martin, 1982).
Umpan balik
tubuloglomerulus merupakan suatu fenomena saat aliran ke nefron distal
diregulasi oleh reseptor dalam makula densa tubulus distal, yang terletak
berdekatan dengan ujung glomerulus. Apabila peningkat aliran filtrate tubulus
kea rah distal tidak mencukupi, kapasitas reabsorbsi tubulus distal dan duktus
kolegentus dapat melimpah dan menyebabkan terjadinya deplesi volume cairan
ekstra sel. Oleh karena itu TGF merupakan mekanisme protektif. Pada NTA
(necrosis tubular acute), kerusakan tubulus proksimal sangat menurunkan
kapasitas absorbs tubulus. TGF diyakini setidaknya berperan dalam menurunnya
GFR (glomerular filtration rate) pada keadaan NTA (necrosis tubular acute)
dengan menyebabkan konstriksi arteriol aferen atau kontriksi mesangial atau
keduanya, yang berturut-turut menurun kan permeabilitas dan tekanan kapiler
intraglomerulus. Oleh karena itu, penurunan GFR akibat TGF dapat
dipertimbangkan sebagai mekanisme adaptif pada NTA.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Elektrokardiogram (EKG)
Perubahan yang terjadi berhubungan dengan ketidakseimbangan elektrolit dan
gagal jantung.
2. Kajian foto toraks dan abdomen
Perubahan yang terjadi berhubungan dengan retensi cairan.
3. Osmolalitas serum
Lebih dari 285 mOsm/kg
4. Pelogram Retrograd
Abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
5. Ultrasonografi Ginjal
Untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista, obstruksi pada
saluran perkemihan bagian atas
6. Endoskopi Ginjal, Nefroskopi
Untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan
tumor selektif
7. Arteriogram Ginjal
Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular
G. PENATALAKSANAAN
1.
Penatalaksanaan secara umum adalah:
Kelainan dan tatalaksana penyebab.
a. Kelainan
praginjal. Dilakukan klinis meliputi faktor pencetus keseimbangan cairan, dan
status dehidrasi. Kemudian diperiksa konsentrasi natrium urin, volume darah
dikoreksi, diberikan diuretik, dipertimbngkan pemberian inotropik dan dopamin.
b. Kelainan
pasca ginjal. Dilakukan pengkajian klinis meliputi apakah kandung kemih penuh,
ada pembesaran prostat, gangguan miksi atau nyeri pinggang. Dicoba memasang
kateter urin, selain untuk mengetahui adanya obstruksi juga untuk pengawasan
akurat dari urin dan mengambil bahan pemeriksaan. Bila perlu dilakukan USG
ginjal.
c. Kelainan
ginjal. Dilakukan pengkajian klinis, urinalinasi, mikroskopik urin, dan
pertimbangkan kemungkinan biopsi ginjal, arteriografi, atau tes lainnya
2.
Penatalaksanaan gagal ginjal
a. Mencapai dan
mempertahankan keseimbangan natrium dan air. Masukan natrium dibatasi hingga 60
mmol/hari dan cairan cukup 500 ml/hari di luar kekurangan hari sebelumnya atau
30 mmol/jam di luar jumlah urin yang dikeluarkan jam sebelumnya. Namun
keseimbangan harus tetap diawasi.
b. Memberikan
nutrisi yang cukup. Bisa melalui suplemen tinggi kalori atau hiperalimentaasi
intravena. Glukosa dan insulin intravena, penambahan kalium, pemberian kalsium
intravena pada kedaruratan jantung dan dialisis.
c. Pemberian
manitol atau furosemid jika dalam keadaan hidrasi yang adekuat terjadi
oliguria.
d. Mencegah dan
memperbaiki infeksi, terutama ditujukan terhadap infeksi saluran napas dan
nosokomial. Demam harus segera harus dideteksi dan diterapi. Kateter harus
segera dilepas bila diagnosis obstruksi kandung kemih dapat disingkirkan.
e. Mencegah dan
memperbaiki perdarahan saluran cerna. Feses diperiksa untuk adanya perdarahan
dan dapat dilakukan endoskopi. Dapat pula dideteksi dari kenaikan rasio
ureum/kreatinin, disertai penurunan hemoglobin. Biasanya antagonis histamin H (misalnya
ranitidin) diberikan pada pasien sebagai profilaksis.
f.
Dialisis dini atau hemofiltrasi sebaiknya tidak
ditunda sampai ureum tinggi, hiperkalemia, atau terjadi kelebihan cairan. Ureum
tidak boleh melebihi 30-40 mmol/L. Secara umum continous haemofiltration dan
dialisis peritoneal paling baik dipakai di ruang intensif, sedangkan
hemodialisis intermitten dengan kateter subklavia ditujukan untuk pasien lain
dan sebagai tambahan untuk pasien katabolik yang tidak adekuat
dengan dialisis peritoneal/hemofiltrasi.
g.
Monitoring keseimbangan cairan, pemasukan dan
pengeluaran cairan atau makanan, menimbang berat badan, monitoring nilai
elektrolit darah, nilai BUN dan nilai kreatinin.
h.
Penanganan Hiperkalemia. Keseimbangan cairan dan
elektrolit merupakan masalah utama pada gagal ginjal akut; hiperkalemia
merupakan kondisi yang paling mengancam jiwa pada gangguan ini. Oleh karena itu
pasien dipantau akan adanya hiperkalemia melalui serangkaian pemeriksaan kadar
elektrolit serum (nilai kalium >5.5 mEq/L; SI: 5.5 mmol/L), perubahan EKG
(tinggi puncak gelombang T rendah atau sangat tinggi), dan perubahan status
klinis. Peningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti
resin (natrium polistriren sulfonat), secara oral atau melalui retensi enema.
H. KOMPLIKASI
1. Jantung: edema paru, aritmia, efusi
pericardium.
2. Gangguan elektrolit: hyperkalemia,
hiponatremia, asidosis
3. Neurologi: iritabilitas
neuromuskuler, flap, tremor, koma, gangguan kesadaran, kejang.
4. Gastrointestinal: nausea, muntah,
gastritis, ulkus peptikum, perdarahaan gastrointestinal
5. Hematologi: anemia, diathesis
hemoragik.
6. Infeksi: pneumonia, septikemis,
infeksi nosocomial.
BAB III
ASUHAN
KEPERAWATAN PADA GAGAL GINJAL AKUT
A. PENGKAJIAN
1. Pengkajian
Anamnesis
Pada pengakajian anamnesis data yang diperoleh yakni identitas klien dan
identitas penanggung jawab, identitas klien yang meliputi nama, usia, jenis
kelamin, pekerjaan, serta diagnosa medis. Penyakit Gagal Ginjal Akut dapat
menyerang pria maupun wanita dari rentang usia manapun, khususnya bagi orang
yang sedang menderita penyakit serius, terluka serta usia dewasa dan pada
umumnya lanjut usia. Untuk pengkajian identitas penanggung jawab data yang
didapatkan yakni meliputi nama, umur, pekerjaan, hubungan dengan si penderita.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering adalah terjadi penurunan produksi miksi.
b. RiwayatPenyakit Sekarang
Pengkajian ditujukan sesuai dengan predisposisi etiologi penyakit terutama
pada prerenal dan renal. Secara ringkas perawat menanyakan berapa lama keluhan
penurunan jumlah urine output dan apakah penurunan jumlah urine output tersebut
ada hubungannya dengan predisposisi penyebab, seperti pasca perdarahan setelah
melahirkan, diare, muntah berat, luka bakar luas, cedera luka bakar, setelah
mengalami episode serangan infark, adanya riwayat minum obat NSAID atau
pemakaian antibiotik, adanya riwayat pemasangan tranfusi darah, serta adanya
riwayat trauma langsung pada ginjal.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi sistem perkemihan
yang berulang, penyakit diabetes melitus dan penyakit hipertensi pada masa
sebelumnya yang menjadi predisposisi penyebab pasca renal. Penting untuk dikaji
tentang riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap
jenis obat dan dokumentasikan.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tanyakan adanya riwayat penyakit ginjal dalam keluarga.
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum
TTV
Keadaan umum klien lemah, terlihat sakit berat, dan letargi. Pada TTV
sering didapatkan adanya perubahan, yaitu pada fase oliguri sering didapatkan
suhu tubuh meningkat, frekuensi denyut nadi mengalami peningkatan dimana
frekuensi meningkat sesuai dengan peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi.
tekanan darah terjadi perubahan dari hipetensi rinagan sampai berat.
2. Pemeriksaaan
pola fungsi
a. B1
(Breathing).
Pada periode oliguri sering didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan
napas yang merupakan respons terhadap azotemia dan sindrom akut uremia. Klien
bernapas dengan bau urine (fetor uremik) sering didapatkan pada fase ini. Pada
beberapa keadaan respons uremia akan menjadikan asidosis metabolik sehingga
didapatkan pernapasan kussmaul.
b. B2 (Blood).
Pada kondisi azotemia berat, saat perawat melakukan auskultasi akan
menemukan adanya friction rub yang merupakan tanda khas efusi perikardial
sekunder dari sindrom uremik. Pada sistem hematologi sering didapatkan adanya
anemia. Anemia yang menyertai gagal ginjal akut merupakan kondisi yang tidak
dapat dielakkan sebagai akibat dari penurunan produksi eritropoetin, lesi
gastrointestinal uremik, penurunan usia sel darah merah, dan kehilangan darah,
biasanya dari saluran G1. Adanya penurunan curah jantung sekunder dari gangguan
fungsi jantung akan memberat kondisi GGA. Pada pemeriksaan tekanan darah sering
didapatkan adanya peningkatan.
c. B3 (Brain).
Gangguan status mental, penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan
berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran
(azotemia, ketidakseimbangan elektrolit/asam/basa). Klien berisiko kejang, efek
sekunder akibat gangguan elektrolit, sakit kepala, penglihatan kabur, kram
otot/kejang biasanya akan didapatkan terutama pada fase oliguri yang berlanjut
pada sindrom uremia.
d. B4
(Bladder).
Perubahan pola kemih pad aperiode oliguri akan terjadi penurunan frekuensi
dan penurunan urine output <400 bertahap="" didapatkan="" disertai="" diuresis="" filtrasi="" gelap.="" glomerulus.="" hari="" jumlah="" lebih="" menjadi="" menunjukkan="" ml="" pada="" pekat="" pemeriksaan="" peningkatan="" perbaikan="" periode="" perubahan="" secara="" sedangkan="" span="" tanda="" terjadi="" urine="" warna="" yang="">400>
e. B5 (Bowel).
Didapatkan adanya mual dan muntah, serta anoreksia sehingga sering
didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
f. B6 (Bone).
Didapatkan adnaya kelemahan fisik secara umum efek sekunder dari anemia dan
penurunan perfusi perifer dari hipetensi.
C. PEMERIKSANAAN
DIAGNOSTIK
1. Laboratorium
Urinalisis didapatkan warna kotor, sedimen kecoklatan menunjukkan adanya
darah, Hb, dan myoglobin. Berat jenis <1 .020="" ginjal="" menunjukkan="" penyakit="" ph="" urine="">7.00 menunjukkan ISK, NTA, dan GGK. Osmolalitas kurang dari 350
mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal dan rasio urine : serum sering 1 : 1.1>
Pemeriksaan
BUN dan kadar kreatinin. Terdapat peningkatan yang tetap dalakm BUN dan laju
peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme (pemecahan protein), perfusi
renal dan masukan protein. Serum kratinin meningkat pada kerusakan glomerulus.
Kadar kreatinin serum bermanfaat dalam pemantauan fungsi ginjal dan
perkembangan penyakit.
Pemeriksaan
elektrolit. Pasien yang mengalami penurunan lajut filtrasi glomerulus tidak
mampu mengeksresikan kalium. Katabolisme protein mengahasilkan pelepasan kalium
seluler ke dalam cairan tubuh, menyebabkan hiperkalemia berat. Hiperkalemia
menyebabkan disritmia dan henti jantung.
Pemeriksan
pH. Pasien oliguri akut tidak dapat emngeliminasi muatan metabolik seperti
substansi jenis asam yang dibentuk oleh proses metabolik normal. Selain itu,
mekanisme bufer ginjal normal turun. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
penurunan kandungan karbon dioksida darah dan pH darah sehingga asidosis
metabolik progresif menyertai gagal ginjal.
D. DIAGNOSA
KEPERAWATAN
1. Defisit
volume cairan berhubungan dengan fase diuresis dari gagal ginjal akut.
2. Pola nafas
nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan pH pada ciaran serebrospinal,
perembesan cairan, kongesti paru efek sekunder perubahan membran kapiler
alveoli dan retensi cairan interstisial dari edema paru pada respons asidosis
metabolik.
3. Risiko tinggi kejang b.d kerusakan
hantaran saraf sekunder dari abnormalitas elektrolit dan uremia.
4. Aktual/risiko perubahan perfusi
serebral b.d. penurunan pH pada cairan serebrospinal efek sekunder dari
asidosis metabolik
5. /risiko
tinggi aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal efek sekunder dari hiperkalemi
E. INTERVENSI
1. Defisit volume cairan berhubungan
dengan fase diuresis dari gagal ginjal akut.
a. Tujuan : Setelah dilakukannya asuhan
keperawatan selama 1x24 jam diharapkan defisit volume cairan dapat teratasi
b. Criteria : Klien tidak mengeluh
pusing, membran muosa lembab, turgor kulit normal, ttv normal, CRT < 2
detik, urine >600 ml/hari
Laboratorium: nilai hematokrit dan protein serum meningkat,
BUN/kreatinin menurun\
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Monitoring
status cairan (turgor kulit, membran mukosa, urine output)
|
Jumlah dan
tipe cairan pengganti ditentukan dari keadaan status cairan Penurunan volume
cairan mengakibatkan menurunnya produksi urine, monitoring yang ketat pada
produksi urine <600 hari="" hipovolemik.="" karena="" merupakan="" ml="" span="" syok="" tanda-tanda="" terjadinya="">600>
|
Kaji keadaan
edema
|
Edema
menunjukan perpindahan cairan karena peningkatan permeabilitas sehingga mudah
ditensi oleh akumulasi cairan walaupun minimal, sehingga berat badan dapat
meningkat
|
Kontrol
intake dan output per 24 jam.
|
Untuk
mengetahui fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan penurunan
kelebihan resiko cairan.
|
Timbang
berat badan tiap hari.
|
Penimbangan
berat badan setiap hari membantu menentukan keseimbangan dan masukan cairan
yang tepat.
|
Beritahu
keluarga agar klien dapat membatasi minum.
|
Manajemen
cairan diukur untuk menggantikan pengeluaran dari semua sember ditambah
perkiraan yang tidak nampak. Pasien dengan kelebihan cairan yang tidak
responsif terhadap pembatasan caiaran dan diuretic membutuhkan dialysis.
|
Penatalaksanaan
pemberian obat anti diuretik.
|
Obat anti
diuretic dat melebarkan lumen tubular dari debris, menurunkan hiperkalemia
dan meningkatkan volume urine adekuat. Misalnya : Furosemide.
|
Kolaborasi
pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal.
|
Hasil dari
pemeriksaan fungsi ginjal dapat memberikan gambaran sejauh mana terjadi
kegagalan ginjal.
|
2. Pola nafas nafas tidak efektif
berhubungan dengan penurunan pH pada ciaran serebrospinal, perembesan cairan,
kongesti paru efek sekunder perubahan membran kapiler alveoli dan retensi
cairan interstisial dari edema paru pada respons asidosis metabolik.
a. Tujuan : setelah diberikan asuhan
keperawatan 1x24 jam diharapkan tidak terjadi perubahan pola nafas
b. Klien tidak sesak nafas, RR dalam
batas normal 16-20 x/menit
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Kaji
faktor penyebab asidosis metabolik.
|
Hasil dari
pemeriksaan fungsi ginjal dapat memberikan gambaran sejauh mana terjadi
kegagalan ginjal. Mengeidentifikasi untuk mengatasi penyebab dasar dari
asidosis metabolic.
|
Monitor
ketat TTV.
|
Perubahan
TTV akan memberikan dampak pada risiko asidosis yang bertambah berat dan
berindikasi pada intervensi untuk secepatnya melakukan koreksi asidosis.
|
Istirahatkan
klien dengan posisi fowler.
|
Posisi
fowler akan meningkatkan ekspansi paru optimal istirahat akan mengurangi
kerja jantung, meningkatkan tenaga cadangan jantung, dan menurunkan tekanan
darah.
|
Ukur
intake dan output.
|
Penurunan
curah jantung, mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi natrium/air,
dan penurunan urine output.
|
Kolaborasi
berikan cairan ringer laktat secara intravena.
|
Larutan IV
ringer laktat biasanya merupakan cairan pilihan untuk memperbaiki keadaan
asidosis metabolik dengan selisih anion normal, serta kekurangan volume ECF
yang sering menyertai keadaan ini.
|
Berikan
bikarbonat.
|
Kolaborasi
pemberian bikarbonat. Jika penyebab masalah adalah masukkan klorida, maka
pengobatannya adalah ditujukan pada menghilangkan sumber klorida.
|
Pantau
data laboratorium analisis gas darah berkelanjutan.
|
Tujuan
intervensi keperawatan pada asidosis metabolik adalah meningkatkan pH
sistemik sampai ke batas yagn aman dan menanggulangi sebab-sebab asidosis
yang mendasarinya. Dengan monitoring perubahan dari analisis gas darah
berguna untuk menghindari komplikasi yang tidak diharapkan
|
3. Risiko tinggi kejang b.d kerusakan
hantaran saraf sekunder dari abnormalitas elektrolit dan uremia.
a. Tujuan : setelah diberikan asuhan
keperawatan 1x24 jam diharapkan kejang berulang tidak terjadi
b. Criteria : klien tidak mengalami
kejang
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Kaji dan catat
faktor-faktor yang menurunkan kalsium dari sirkulasi.
|
Penting
artinya untuk mengamati hipokalsemia pada klien berisiko. Perawat harus
bersiap untuk kewaspadaan kejang bila hipokalsemia
|
Kaji
stimulus kejang.
|
Stimulus
kejang pada tetanus adalah rangsang cahaya dan peningkatan suhu tubuh.
|
Monitor
klien yang berisiko hipokalsemi
|
Individu
berisiko terhadap osteoporosis diinstruksikan tentang perlunya masukan
kalsium diet yang adekuat; jika dikonsumsi dalam diet, suplemen kalsium harus
dipertimbangkan.
|
Hindari
konsumsi alkohol dan kafein yang tinggi.
|
Alkohol
dan kafein dalam dosis yang tinggi menghambat penyerapan kalsium dan perokok
kretek sedang meningkatkan ekskresi kalsium urine
|
Garam
kalsium parenteral
|
Garam
kalsium parenteral termausk kalsium glukonat, kalsium klorida, dan kalsium
gluseptat. Meskipun kalsium klorida menghasilkan kalsium berionisasi yang
secara signifikan lebih tinggi dibandingkan jumlah akuimolar kalsium
glukonat, tetapi cairan ini tidak sering digunakan karena cairan tersebut l
ebih mengiritasi dan dapat menyebabkan peluruhan jaringan jika dibiarkan
menginfiltrasi
|
Tingkatan
masukan diet kalsium.
|
Tingkatan
masukan diet kalsium sampai setidaknya 1.000 hingga 1.500 mg/hari pada orang
dewasa sangat dianjurkan (produk dari susu: sayuran berdaun hijau; salmon
kaleng, sadin, dan oyster segar)
|
Monitor
pemeriksaan EKG dan laboratorium kalsium serum.
|
Menilai
keberhasilan intervensi
|
|
|
4. Risiko perubahan perfusi serebral
b.d. penurunan pH pada cairan serebrospinal efek sekunder dari asidosis
metabolic
a. Tujuan : setelah diberikan asuhan
keperawatan 2x24 jam diharapkan perfusi jaringan otak dapat tercapai secara
optimal
b. Criteria : klien tidak mengalami
kegelisahan,tidak ada keluhan nyeri kepala, mual kejang. GCS 456 pupil isokor,
reflek cahaya (+), TTV normal, serta klien tidak mengalami defisit neurologis
seperti: lemas , agitasi iritabel, hiperefleksia, dan spastisitas dapat terjadi
hingga akhirnya timbul koma, kejang.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Monitor
tanda-tanda status neurologis dengan GCS.
|
Dapat
mengurangi kerusakan otak lebih lanjut.
|
Monitor
tanda-tanda vital seperti TD, nadi, suhu, respirasi, dan hati-hati pada
hipertensi sistolik.
|
Pada
keadaan normal, autoregulasi mempertahankan keadaan tekanan darah sistemik yang
dapat berubah secara fluktuasi. Kegagalan autoreguler akan menyebabkan
kerusakan vaskular serebral yang dapat dimanifestasikan dengan peningkatan
sistolik dan diikuti oleh penurunan tekanan diastolik, sedangkan peningkatan
suhu dapat menggambarkan pejralanan infeksi.
|
Bantu
klien untuk membatasi muntah dan batuk. Anjurkan klien untuk mengeluarkan
napas apabila bergerak atau berbalik di tempat tidur.
|
Aktivitas
ini dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan intraabdomen. Mengeluarkan
napas sewaktu bergerak atau mengubah posisi dapat melindungi diri dari efek
valsava.
|
Anjurkan
klien untuk menghindari batuk dan mengejan berlebihan
|
Batuk dan
mengejan dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan potensial terjadi
perdarahan ulang.
|
Monitor
kalium serum
|
Hiperkalemi
terjadi dengan asidosis, hipokalemi dapat terjadi pada kebalikan asidosis dan
perpindahan kalium kembali ke sel.
|
5. Risiko tinggi aritmia b.d gangguan
konduksi elektrikal efek sekunder dari hiperkalemi
a. Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan
1x24 jam diharapkan tidak terjadi aritmia.
b. Criteria : Klien tidak gelisah,
tidak mengeluh mual-mual dan muntah, GCS 456, tidak terdapat papiledema, TTV
dalam batas normal, Klien tidak mengalami defisit neurologis, kadar kalium
serum dalam batas normal.
IINTERVENSI
|
RASIONAL
|
Kaji
faktor penyebab dari situasi/keadaan individu dan faktor-faktor hiperkalemi.
|
Banyak
faktor yang menyebabkan hiperkalemia dan penanganan disesuaikan dengan faktor
penyebab.
|
Beri diet
rendah kalium
|
Makanan
yang mengandung kalium tinggi yang harus dihindari termausk kopi, cocoa, the,
buah yang dikeringkan, kacang yang dikeringkan, dan roti gandum utuh. Susu
dan telur juga mengandung kalium yang cukup besar. Sebaliknya, makanan dengan
kandungan kalium minimal termasuk mentega, margarin, sari buah, atau saus
cranbeery, bir jahe, permen karet, atau gula-gula (permen), root beer, gula
dan madu.
|
Memonitor
tanda-tanda vital tiap 4 jam.
|
Adanya
perubahan TTV secara cepat dapat menjadi pencetus aritmia pada klien
hipokalemi.
|
Monitoring
klien yang berisiko terjadi hipokalemi
|
Asidosis
dan kerusakan jaringan seperti pada luka bakat atau cedera remuk, dapat
menyebabkan perpindahan kalium dari ICF ke ECF, dan masih ada hal-hal lain
yang dapat menyebabkan hiperkalemia. Akhirnya, larutan IV yang mengandung
kalium harus diberikan perlahan-lahan untuk mencegah terjadinya beban kalium
berlebihan latrogenik.
|
Monitoring
klien yang mendapat infus cepat yang mengandung kalium
|
Aspek yang
paling penting dari pencegahan hiperkalemia adalah mengenali keadaan klinis
yang dapat menimbulkan hiperkalemia karena hiperkalemia adalah akibat yang
bisa diperkirakan pada banyak penyakit dan pemberian obat-obatan. Selain itu,
juga harus diperhatikan agar tidak terjadi pemberian infus larutan IV yang mengandung
kalium dengan kecepatan tinggi.
|
Pemberian
kalsium glukonat.
|
Kalsium
glukonat 10% sebanyak 10 ml diinfus IV perlahan-lahan selama 2-3 menit dengan
pantauan EKG, efeknya terlihat dalam waktu 5 menit, tetapi hanya bertahan
sekitar 30 menit.
|
Pemberian
glukosa 10%.
|
Glukosa
10% dalam 500 ml dengan 10 U insulin regular akan memindahkan K+ ke
dalam sel; efeknya terlihat dalam waktu 30 menit dan dapat bertahan beberapa
jam.
|
Pemberian
natrum bikarbonat.
|
Natrium
bikarbonat 44-88 mEq IV akan memperbaiki asidosis dan perpindahan K+ ke
dalam sel; efeknya terlihat dalam waktu 30 menit dan dapat bertahan beberapa
jam.
|
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu
keadaan fisiologik dan klinik yang ditandai dengan pengurangan tiba-tiba
glomerular filtration rate (GFR) dan perubahan kemampuan fungsional ginjal
untuk mempertahankan eksresi air yang cukup untuk keseimbangan dalam tubuh.
Atau sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang
ditandai dengan penurunan fungsi yang nyata dan cepat serta terjadinya
azotemia.
B. SARAN
Sebagai mahasiswa keperawatan
diharapkan dapat memahami dan mengetahui penyebab, bahaya serta cara pencegahan
yang ditimbulkan dari GGA (gagal ginjal akut) sehingga dalam melakukan tindakan
keperawatan di masa mendatang dapat memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan
standart asuhan keperawatan yang sudah ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer,
Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 jilid 1.
Jakarta: Salemba Medika
Muttaqin, Arif, Kumala Sari.
2011. Askep Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Price, S. A & Wilson, L. M.
2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2.
Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare,
2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Doenges, Marilyn. E. 1999. Rencana
Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC
NANDA Internasional. 2012. Diagnosa
Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC.
Doenges,
Marilyn. E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC
NANDA
Internasional. 2012. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi.
Jakarta: EGC
Nursalam,
Dr. Nurs M. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar